music online

Kamis, 28 Februari 2013

TUMOR OTAK


A.    Definisi
Tumor otak adalah suatu pertumbuhan jaringan yang abnormal di dalam otak. Yang terdiri atas Tumor otak benigna dan maligna. Tumor otak benigna adalah pertumbuhan jaringan abnormal di dalam otak, tetapi tidak ganas, sedangkan tumor otak maligna adalah kanker di dalam otak yang berpotensi menyusup dan menghancurkan jaringan di sebelahnya atau yang telah menyebar (metastase) ke otak dari bagian tubuh lainnya melalui aliran darah.
B.     Epidemiologi
Dimana tumor otak primer tersebut kira-kira 41% adalah glioma, 17% meningioma, 13% adenoma hipofisis dan 12% neurilemoma. Pada orang dewasa 60% terletak supratentorial sedang pada anak 70% terletak infratentorial. Pada anak yang paling sering ditemukan adalah tumor serebellum yaitu meduloblastoma dan astrositoma, sedangkan pada dewasa adalah glioblastoma multiforme.
C.    Klasifikasi
Klasifikasi Samuels (1986) berdasarkan atas lokasi tumor, yaitu :
1. Tumor supratentorial
      a) Hemisfer otak :
           Glioma : glioblastoma multiforme, astrositoma, oligodendroglioma,
      meningioma,  tumor metastasis
      b) Tumor struktur median : adenoma hipofisis, tumor glandula
     pinealis,  kraniofaringioma
2. Tumor infratentorial
     Dewasa :
     a) Schwannoma akustikus (neurilemmoma, neurinoma akustik)
     b) Tumor metastasis
     c) Meningioma
     d) Hemangioblastoma (Von Hippel – Lindau)
     Anak-anak :
    a) Astrositoma serebelaris
    b) Medulloblastoma
    c) Ependimoma
    d) Glioma batang otak.3
D.    Etiologi

Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu:
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-buakti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.

2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
5. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan

E. Patofisiologi
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor: gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan tekanan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Peningkatan ICP disebabkan oleh : bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahah sirkulasi cairan serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada ruangan tengkorak yang kaku. Tumor ganas menimbulkan edema dalam jaringan otak sekitarnya. Mekanisme belum begitu dipahami, tetapi diduga disebabkan oleh selisih osmotik yang menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema akibat kerusakan sawar darah otak, semua menimbulkan peningkatan volume intrakranial dan ICP. Obstruksi sirkulasi CSF dari ventrikel lateralis ke ruang subarachnoid menimbulkan hidrosefalus.
Peningkatan ICP akan membahayakan jiwa bila terjadi cepat akibat salah satu penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya. Mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari atau berbulan-bulan untuk menjadi efektif sehingga tidak berguna bila tekanan intracranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini bekerja menurunkan volume darah intracranial, volume CSF, kandungan cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan terjadinya herniasi unkus atau serebelum. Herniasi unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis tergeres ke inferior melalui incisura tentorial  oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan mesencephalon menyebakan hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak ketiga. Kompresi medulla oblongata dan henti napas terjadi dengan cepat. Perubahan fisiologi lain yang terjadi akibat peningkatan ICP yang cepat adalah bradikardi progesif, hipertensi sistemik, dan gagal napas.5
F.     Gambaran klinik
Gejala klinik pada tumor intrakranial dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
1. Gejala Klinik Umum
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum.

Nyeri Kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher.
Perubahan Status Mental
Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian, perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.
Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti astrositoma, oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal baru kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.
Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.
Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam hari, dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya massa intrakranial.
2. Gejala Klinik Lokal
Manifestasi lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal yang reversibel.

Tumor Kortikal
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang diikuti paralisis pos-iktal. Meningioma kompleks atau parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus olfaktorius.
Tumor Lobus Temporalis
Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, defisit lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial kompleks. Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan simple motor atau kejang sensoris.
Tumor Lobus Oksipital
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi kontralateral episodic terhadap cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri.
Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu.
Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-gejala umum.
Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol.
3. Gejala Lokal yang Menyesatkan (False Localizing Features)
Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran dari struktur-struktur intrakranial atau iskemi. Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus atau tumor pada korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia).
G.    Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita tumor otak yaitu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti, adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu yaitu CT-Scan dan MRI. Dari anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas. Misalnya ada tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik mungkin ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan deficit lapangan pandang.
Pemeriksaan Penunjang
CT scan dan MRI memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur investigasi awal ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda penyakit otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari sindrom atau gejala-gejala tumor. Kadang sulit membedakan tumor dari abses ataupun proses lainnya.
Foto polos dada dan pemeriksaan lainnya juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah tumornya berasal dari suatu metastasis yang akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun multiple pada otak.
Pemeriksaan cairan serebrospinal juga dapat dilakukan untuk melihat adanya sel-sel tumor dan juga marker tumor. Tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien dengan massa di otak yang besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui pemeriksaan patologi anatomi, sebagai cara yang tepat untuk membedakan tumor dengan proses-proses infeksi (abses cerebri).2
Biopsi dilakukan untuk menentukan jenis tumor dan sifatnya (ganas atau jinak).
Kadang pemeriksaan mikroskopik dari cairan serebrospinal yang diperoleh melalui pungsi lumbal, bisa menunjukkan adanya sel-sel kanker.
Jika terdapat peningkatan tekanan di dalam tengkorak, maka tidak dapat dilakukan pungsi lumbal karena perubahan tekanan yang tiba-tiba bisa menyebabkan herniasi.
Pada herniasi, tekanan yang meningkat di dalam tengkorak mendorong jaringan otak ke bawah melalui lubang sempit di dasar tengkorak, sehingga menekan otak bagian bawah (batang otak). Sebagai akibatnya, fungsi yang dikendalikan oleh batang otak (pernafasan, denyut jantung dan tekanan darah) akan mengalami gangguan. Jika tidak segera diatasi, herniasi bisa menyebabkan koma dan kematian.4
H.    Terapi
Jika memungkinkan, maka tumor diangkat melalui pembedahan. Pembedahan kadang menyebabkan kerusakan otak yang bisa menimbulkan kelumpuhan parsial, perubahan rasa, kelemahan dan gangguan intelektual. Tetapi pembedahan harus dilakukan jika pertumbuhannya mengancam struktur otak yang penting. Meskipun pengangkatan tumor tidak dapat menyembuhkan kanker, tetapi bisa mengurangi ukuran tumor, meringankan gejala dan membantu menentukan jenis tumor serta pengobatan lainnya.
Beberapa tumor jinak harus diangkat melalui pembedahan karena mereka terus tumbuh di dalam rongga sempit dan bisa menyebabkan kerusakan yang lebih parah atau kematian.
Meningioma, schwannoma dan ependimoma biasanya diangkat melalui pembedahan. Setelah pembedahan kadang dilakukan terapi penyinaran untuk menghancurkan sel-sel tumor yangt ersisa. Tumor ganas diobati dengan pembedahan, terapi penyinaran dan kemoterapi. Terapi penyinaran dimulai setelah sebanyak mungkin bagian tumor diangkat melalui pembedahan. Terapi penyinaran tidak dapat menyembuhkan tumor, tetapi membantu memperkecil ukuran tumor sehingga tumor dapat dikendalikan.
Kemoterapi digunakan untuk mengobati beberapa jenis kanker otak.
Kanker otak primer maupun kanker otak metastatik memberikan respon yang baik terhadap kemoterapi.
      Jika terjadi peningkatan tekanan di dalam otak, diberikan suntikan mannitol dan kortikosteroid untuk mengurangi tekanan dan mencegah herniasi.
Pengobatan kanker metastatik tergantung kepada sumber kankernya.
Sering dilakukan terapi penyinaran. Jika penyebarannya hanya satu area, maka bisa dilakukanpembedahan.
Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa faktor, antara lain kondisi umum penderita, tersedianya alat yang lengkap, pengertian penderita dan keluarganya,  luasnya metastasis. adapun terapi yang dilakukan, meliputi terapi steroid, pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Terapi Steroid
Steroid secara dramatis mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial, namun tidak berefek langsung terhadap tumor.
Pembedahan
Pembedahan adalah pengobatan yang paling umum untuk tumor otak. Tujuannya adalah untuk mengangkat sebanyak tumornya dan meminimalisir sebisa mungkin peluang kehilangan fungsi otak.
Operasi untuk membuka tulang tengkorak disebut kraniotomi. Hal ini dilakukan dengan anestesi umum. Sebelum operasi dimulai, rambut kepala dicukur. Ahli bedah kemudian membuat sayatan di kulit kepala menggunakan sejenis gergaji khusus untuk mengangkat sepotong tulang dari tengkorak. Setelah menghapus sebagian atau seluruh tumor, ahli bedah menutup kembali bukaan tersebut dengan potongan tulang tadi, sepotong metal atau bahan. Ahli bedah kemudian menutup sayatan di kulit kepala. Beberapa ahli bedah dapat menggunakan saluran yang ditempatkan di bawah kulit kepala selama satu atau dua hari setelah operasi untuk meminimalkan akumulasi darah atau cairan.
Efek samping yang mungkin timbul pasca operasi pembedahan tumor otak adalah sakit kepala atau rasa tidak nyaman selama beberapa hari pertama setelah operasi. Dalam hal ini dapat diberikan obat sakit kepala.
Masalah lain yang kurang umum yang dapat terjadi adalah menumpuknya cairan cerebrospinal di otak yang mengakibatkan pembengkakan otak (edema). Biasanya pasien diberikan steroid untuk meringankan pembengkakan. Sebuah operasi kedua mungkin diperlukan untuk mengalirkan cairan. Dokter bedah dapat menempatkan sebuah tabung, panjang dan tipis (shunt) dalam ventrikel otak. Tabung ini diletakkan di bawah kulit ke bagian lain dari tubuh, biasanya perut. Kelebihan cairan dari otak dialirkan ke perut. Kadang-kadang cairan dialirkan ke jantung sebagai gantinya.
      Infeksi adalah masalah lain yang dapat berkembang setelah operasi (diobati dengan antibiotic).
      Operasi otak dapat merusak jaringan normal. kerusakan otak bisa menjadi masalah serius. Pasien mungkin memiliki masalah berpikir, melihat, atau berbicara. Pasien juga mungkin mengalami perubahan kepribadian atau kejang. Sebagian besar masalah ini berkurang dengan berlalunya waktu. Tetapi kadang-kadang kerusakan otak bisa permanen. Pasien mungkin memerlukan terapi fisik, terapi bicara, atau terapi kerja.
      Radiosurgery stereotactic adalah tehnik "knifeless" yang lebih baru untuk menghancurkan tumor otak tanpa membuka tengkorak. CT scan atau MRI digunakan untuk menentukan lokasi yang tepat dari tumor di otak. Energi radiasi tingkat tinggi diarahkan ke tumornya dari berbagai sudut untuk menghancurkan tumornya. Alatnya bervariasi, mulai dari penggunaan pisau gamma, atau akselerator linier dengan foton, ataupun sinar proton.

Kelebihan dari prosedur knifeless ini adalah memperkecil kemungkinan komplikasi pada pasien dan memperpendek waktu pemulihan. Kekurangannya adalah tidak adanya sample jaringan tumor yang dapat diteliti lebih lanjut oleh ahli patologi, serta pembengkakan otak yang dapat terjadi setelah radioterapi.

Kadang-kadang operasi tidak dimungkinkan. Jika tumor terjadi di batang otak (brainstem) atau daerah-daerah tertentu lainnya, ahli bedah tidak mungkin dapat mengangkat tumor tanpa merusak jaringan otak normal. Dalam hal ini pasien dapat menerima radioterapi atau perawatan lainnya.
Radioterapi
Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi total sebesar 5000-6000 cGy tiap fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan dari radioterapi hiperfraksi ini didasarkan pada alasan bahwa sel-sel normal lebih mampu memperbaiki kerusakan subletal dibandingkan sel-sel tumor dengan dosis tersebut. Radioterapi akan lebih efisien jika dikombinasikan dengan kemoterapi intensif.
Kemoterapi
Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi tetap diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada tumor-tumor tertentu seperti meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke batang otak, terapi tambahan berupa kemoterapi dan regimen radioterapi dapat membantu sebagai terapi paliatif.
I.       Prognosis
    Meskipun diobati, hanya sekitar 25% penderita kanker otak yang bertahan hidup setelah 2 tahun. Prognosis yang lebih baik ditemukan pada astrositoma dan oligodendroglioma, dimana kanker biasanya tidak kambuh dalam waktu 3-5 tahun setelah pengobatan.
Sekitar 50% penderita meduloblastoma yang diobati bertahan hidup lebih dari 5 tahun.
    Pengobatan untuk kanker otak lebih efektif dilakukan pada:
                - penderita yang berusia dibawah 45 tahun
                - penderita astrositoma anaplastik
                - penderita yang sebagian atau hampir seluruh tumornya telah diangkat melalui pembedahan.
Berdasarkan data di Negara-negara maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahaun (10 years survival) berkisar 30-40%. Terapi tumor otak di Indonesia secara umum prognosisnya masih buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada beberapa rumah sakit di Jakarta. 2
Meskipun diobati, hanya sekitar 25% penderita kanker otak yang bertahan hidup setelah 2 tahun. Prognosis yang lebih baik ditemukan pada astrositoma dan oligodendroglioma, dimana kanker biasanya tidak kambuh dalam waktu 3-5 tahun setelah pengobatan. Sekitar 50% penderita meduloblastoma yang diobati bertahan hidup lebih dari 5 tahun. Pengobatan untuk kanker otak lebih efektif dilakukan pada:
penderita yang berusia dibawah 45 tahun
penderita astrositoma anaplastik
penderita yang sebagian atau hampir seluruh tumornya telah diangkat melalui pembedahan
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Tumor otak adalah suatu pertumbuhan jaringan yang abnormal di dalam otak. Yang terdiri atas Tumor otak benigna dan maligna. Tumor otak benigna adalah pertumbuhan jaringan abnormal di dalam otak, tetapi tidak ganas, sedangkan tumor otak maligna adalah kanker di dalam otak yang berpotensi menyusup dan menghancurkan jaringan di sebelahnya atau yang telah menyebar (metastase) ke otak dari bagian tubuh lainnya melalui aliran darah.
Tumor disebabkan oleh mutasi DNA di dalam sel. Akumulasi dari mutasi-mutasi tersebut menyebabkan munculnya tumor. Sebenarnya sel kita memiliki mekanisme perbaikan DNA (DNA repair) dan mekanisme lainnya yang menyebabkan sel merusak dirinya dengan apoptosis jika kerusakan DNA sudah terlalu berat. Apoptosis adalah proses aktif kematian sel yang ditandai dengan pembelahan DNA kromosom, kondensasi kromatin, serta fragmentasi nukleus dan sel itu sendiri. Mutasi yang menekan gen untuk mekanisme tersebut biasanya dapat memicu terjadinya kanker.
            Pengobatan tumor otak tergantung kepada lokasi dan jenisnya.Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa faktor, antara lain kondisi umum penderita, tersedianya alat yang lengkap, pengertian penderita dan keluarganya,  luasnya metastasis. adapun terapi yang dilakukan, meliputi terapi steroid, pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Informasi tentang Tumor Otak dalam http://www.medicastore.com dikutip tanggal 13 November 2004
2. Adams and Victors, Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Manual of Neurology edisi 7, McGraw Hill, New York, 2002 : 258 – 263
3. Adams and Victors, Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Principles of Neurology edisi 7, McGraw Hill, New York, 2001 : 676 – 721
4. Syaiful Saanin, dr, Tumor Intrakranial dalam http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Pendahuluan.html, dikutip tanggal 13 November 2004
5. Harsono, Tumor Otak dalam Buku Ajar Neurologi Klinis edisi I, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1999 : 201 – 207
6. What you need to Know about Brain Tumor at http://www.cancer.gov
7. Mahar, M., Proses Neoplasmatik di Susunan Saraf dalam Neurologi Klinis Dasar edisi 5, Dian Rakyat, Jakarta, 2000 : 390 – 402
8. Meyer, J.S., Gilroy J., Tumors of the Central Nervous System in Medical Neurology edisi 2, McMillan Publishing C. Inc, New York, 1995 : 611 – 629
9. Bradley, Walter G., Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in Clinical Practice edisi 3, Butterworth, Boston 2000 : 239 – 267
10. Howard L.W., Lawrence P. L., Malignancy and the Nervous System in Neurology edisi 5, Williams & Wilkins, Philadelphia, : 139 - 142
11. Facts About Brain Tumors at http://www.braintumor.org, dikutip tanggal 13 November 2004
12.  John R.M., Howard K.W, A ,B, Cs of Brain Tumors — From Their Biology to Their Treatments at http://www.brain-surgery.com, dikutip tanggal 13 November 2004
13.  13.Pinzon, Rizaldi dkk. 2003. Karakteristik Klinis dan Radiologis Tumor Otak di RS. Dr. Sardjito Yogyakarta. FK UGM, Yogyakarta.
14.Ashadi. 2009. Gejala, Diagnosis dan Terapi Tumor Otak.  Sindereng. (Sindereng. Blogspot.com, 30 September 2009)
15.______. 2009. Tumor Otak. Referat. (referat.blogspot.com, 30 September 2009)
16.______. 2009. Tumor Otak. Medicastore. (www.medicastore.com, 30 September 2009)
17.Price, Sylvia Anderson. 2006. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC, Jakarta.

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KUSTA

PENGERTIAN

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

Lepra : Morbus hansen, Hamseniasis

Reaksi :Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.
Etiologi

M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
Patogenesis

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.

Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.

M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Klasifikasi Kusta

Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.

Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Gambaran Klinis

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
Tipe Tuberkoloid ( TT )
Mengenai kulit dan saraf.
Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
Tipe Mid Borderline ( BB )
Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
Tipe Lepromatosa ( LL )
Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
Distribusi lesi khas :
Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
Stadium lanjutan :
Penebalan kulit progresif
Cuping telinga menebal
Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
Lebih lanjut
Deformitas hidung
Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
Penyakit progresif, makula dan popul baru.
Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain
Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
Lidah : ulkus, nodus
Larings : suara parau
Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
Kelenjar limfe : limfadenitis
Rambut : alopesia, madarosis
Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
Diagnosa Keperawatan
Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi
Gangguan aktivitas b/d post amputasi
Resti injuri b/d invasif bakteri
Intervensi

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu

Tujuan :

Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria hasil :
Klien dapat menerima perubahan dirinya
Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)
Klien tidak merasa malu

Intervensi :
Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.

Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi

Tujuan :

Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan kriteria hasil :
Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi
Klien tenang
Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari

Intervensi :
Kaji skala nyeri klien
Alihkan perhatian klien terhadap nyeri
Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
Awasi keadaan luka operasi
Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.

Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi

Tujuan :

Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan keperaatan dengan kriteria hasil :
Klien dapat beraktivitas mandiri
Klien tidak diam di tempat tidur terus

Intervensi :
Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri
mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi
Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta. Propinsi Jawa Tangah

Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta.

DIPOSKAN OLEH FOSIMMIK DI 05:36

LABEL: INFEKS

MORBILI


I.    KONSEP PENYAKIT
        A.    Pengertian
Morbili adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala-gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam, scarlet, pembesaran serta nyeri limpa nadi ( Ilmu Kesehatan Anak vol 2, Nelson, EGC, 2000)
Morbili adalah penyakit infeksi virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalesensi. Penularan terjadi secara droplet dan kontak langsung dengan pasien. Nama lain penyakit ini adalah campak, measles, atau rubeola. (Arif mansjoer, 2000)
Campak yang disebut juga dengan measles atau rubeola merupakan suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh paramixovirus yang pada umumnya menyerang anak-anak. Penyakit ini ditularkan dari orang ke orang melalui percikan liur (droplet) yang terhirup.
         B.     Etiologi
Penyebabnya adalah virus morbili yaitu Rubeola yang terdapat dalam sekret nasofaring dan darah selama masa prodormal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Virus ini berupa virus RNA yang termasuk famili Paramiksoviridae, genus Morbilivirus. virus ini memiliki RNA rantai tunggal, sampai saat ini hanya ada satu serotipe yang diketahui dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Cara penularan dengan droplet infeksi.
Faktor resiko terkena morbili adalah
      1.      Daya tahan tubuh yang lemah
       2.      Belum pernah terkena campak
       3.      Belum pernah mendapat vaksinasi campak
         C.     Manifestasi klinik
Masa tunas/inkubasi penyakit berlangsung kurang lebih dari 10-20 hari dan kemudian timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3 stadium
        1.      Stadium kataral (prodormal)
Stadium prodormal berlangsung selama 4-5 hari ditandai oleh demam ringa hingga sedang, batuk kering ringan, coryza, fotofobia dan konjungtivitis. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya dimukosa bukalis berhadapan dengan molar dibawah, tetapi dapat menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan pipi. Meski jarang, mereka dapat pula ditemukan pada bagian tengah bibir bawah, langit-langit dan karankula lakrimalis. Bercak tersebut muncul dan menghilang dengan cepat dalam waktu 12-18 jam. Kadang-kadang stadium prodormal bersifat berat karena diiringi demam tinggi mendadak disertai kejang-kejang dan pneumoni. Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia.
2.      Stadium erupsi
Coryza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema / titik merah dipalatum durum dan palatum mole. Terjadinya eritema yang berbentuk makula papula disertai dengan menaiknya suhu tubuh. Eritema timbul dibelakang telinga dibagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan primer pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening disudut mandibula dan didaerah leher belakang. Juga terdapat sedikit splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah “Black Measles” yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.
3.      Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang bisa hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi
D.    Patofisiologi          
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses keradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3 C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berbiak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik encefalitis. Setelah masa konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.
Manusia merupakan satu- stunya inang alamiah untuk virus campak, walaupun banyak spesies lain, termasuk kera, anjing, tikus, dapat terinfeksi secara percobaan. Virus masuk ke dalam tubuh melalui system pernafasan, dimana mereka membelah diri secara setempat; kemudian infeksi menyebar ke jaringan limfoid regional, dimana terjadi pembelahan diri selanjutnya. Viremia primer menyebabkan virus, yang kemudian bereplikasi dalam system retikuloendotelial. Akhirnya, viremia sekunder bersemai pada permukaan epitel tubuh, termasuk kulit, saluran pernafasan, dan konjungtiva, dimana terjadi replikaksi fokal. Campak dapat bereplikasi dalam limfosit tertentu, yang membantu penyebarannya di seluruh tubuh. Sel datia berinti banyak dengan inklusi intranuklir ditemukan dalam jaringan limfoid di seluruh tubuh (limfonodus, tonsil, apendiks).
Peristiwa tersebut di atas terjadi selama masa inkubasi, yang secara khas berlangsung 9- 11 hari tetapi dapat diperpanjang hingga 3 minggu pada orang yang lebih tua. Mula timbul penyakit biasanya mendadak dan ditandai dengan koriza (pilek), batuk, konjungtivitis, demam, dan bercak koplik dalam mulut. Bercak koplik- patognomonik untuk campak- merupakan ulkus kecil, putih kebiruan pada mukosa mulut, berlawanan dengan molar bawah. Bercak ini mengandung sel datia, antigen virus, dan nukleokapsid virus yang dapat dikenali.
Selama fase prodromal, yang berlangsung 2- 14 hari, virus ditemukan dalam air mata, sekresi hidung dan tenggorokan, urin, dan darah. Ruam makulopopuler yang khas timbul setelah 14 hari tepat saat antibody yang beredar dapat dideteksi, viremia hilang, dan demam turun. Ruam timbul sebagai hasil interaksi sel T imun dengan sel terinfeksi virus dalam pembuluh darah kecil dan berlangsung sekitar seminggu. Pada pasien dengan cacat imunitas berperantara sel, tidak timbul ruam.
Keterlibatan system saraf pusat lazim terjadi pada campak. Ensefalitis simptomatik timbul pada sekitar 1:1000 kasus. Karena virus penular jarang ditemukan di otak, maka diduga reaksi autoimun merupakan mekanisme yang menyebabkan komplikasi ini.
Sebaliknya, ensefalitis menular yang progresif akut dapat timbul pada pasien dengan cacat imunitas berperantara sel. Ditemukan virus yang bereplikasi secara katif dalam otakdan hal ini biasanya bentuk fatal dari penyakit.
Komplikasi lanjut yang jarang dari campak adalah peneesefalitis sklerotikkans subakut. Penyakit fatal ini timbul bertahun- tahun setelah infeksi campak awal dan disebabkan oleh virus yang masih menetap dalam tubuh setelah infeksi campak akut. Jumlah antigen campak yang besar ditemukan dalam badan inklusi pada sel otak yang terinfeksi, tetapi paartikel virus tidak menjadi matang. Replikasi virus yang cacat adalah akibat tidak adanya pembentukan satu atau lebih produk gen virus, sering kali protein maatriks. Tidak diketahui mekanisme apa yang bertanggung jawab untuk pemilihan virus patogenik cacat ini.
Adanya virus campak intraseluler laten dalam sel otak pasien dengan panensefalitis sklerotikans subakut menunjukkan kegagalan system imun untuk membasmi infeksi virus. Ekspresi antigen virus pasa permukaan sel dimodulasi oleh penambahan antibosi campak terhadap sel yang terinfeksi dengan virus campak. Dengan menngekspresikan lebih sedikit antigen virus pada permukaan, sel- sel dapat menghindarkan diri agar tidak terbunuh oleh reaksi sitotoksik berperantara sel atau berperantara antibody tetapi dapat tetap mempertahankan informasi genetic virus.
Anak- anak yang diimunisasi dengan vaksi campak yang diinaktivasi kemudian dipaparkan dengan virus campak alamiah, dapat mengalami sindroma yang disebut campak atipik. Prosedur inaktivasi yang digunakan dalam produksi vaksin akan merusak imunogenisitas protein F virus; walaupun vaksin mengembangkan respon antibody yang baik terhadap protein H, tanpa adanya infeksi antibody F dapat dimulai dan virus dapat menyebar dari sel ke sel melalui penyatuan. Keadaan ini akan cocok untuk reaksi patologik imun yang dapat memperantarai campak atipik. Vaksin virus campak yang diinaktifkan tampak digunakan lagi.
E.     Pemeriksaan diagnostik
       1.      Pemeriksaan fisik
       2.      Pemeriksaan darah
          F.      Komplikasi
Menurut Arif mansjoer, 2000, komplikasi dari morbili adalah
         1.      Otitis media akut
       2.      Ensefalitis
       3.      Broncopneumonia
G.    Penatalaksanaan
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari :
1.      Pemberian cairan yang cukup
2.      Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan adanya komplikasi
3.      Suplemen nutrisi
4.      Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder
5.      Anti konvulsi apabila terjadi kejang
6.      Pemberian vitamin A.
Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu > 39,00 C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi.
Campak tanpa komplikasi :
Hindari penularan
Tirah baring di tempat tidur
Vitamin A 100.000 IU, apabila disetai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari
Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi
Campak dengan komplikasi :
1.       Ensefalopati/ensefalitis
Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PDT ensefalitis
Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PDT ensefalitis
Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan elektrolit
2.      Bronkopneumonia
Antibiotika sesuai dengan PDT pneumonia
Oksigen nasal atau dengan masker
Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, gas darah dn elektrolit
3.      Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi (lihat Bab enteritis dehidrasi).
4.      Pada kasus campak dengan komplikasi bronkhopneumonia dan gizi kurang perlu dipantau terhadap adanya infeksi TB laten. Pantau gejala klinis serta lakukan uji Tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
5.      Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk.
H.    Pencegahan
1.       Imunisasi aktif
Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Vaksin hidup yang pertama kali digunakan adalah Strain Edmonston B. Pelemahan berikutnya dari Strain Edmonston B. Tersbut membawa perkembangan dan pemakaian Strain Schwartz dan Moraten secara luas. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama. Pada penyelidikan serulogis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai mengurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan agar vaksinasi campak rutin tidak dapat dilakukan sebelum bayi berusia 15 bulan karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena masih ada antibodi dari ibu. Pada suatu komunitas dimana campak terdapat secara endemis, imunisasi dapat diberikan ketika bayi berusia 12 bulan.
2.       Imunisasi pasif
Imunusasi pasif dengan serum orang dewasa yang dikumpulkan, serum stadium penyembuhan yang dikumpulkan, globulin placenta (gama globulin plasma) yang dikumpulkan dapat memberikan hasil yang efektif untuk pencegahan atau melemahkan campak. Campak dapat dicegah dengan serum imunoglobulin dengan dosis 0,25 ml/kg BB secara IM dan diberikan selama 5 hari setelah pemaparan atau sesegera mungkin.
I.       Prognosis
Pada umumnya prognosis baik, tetapi lebih buruk pada anak dengan keadaan gizi buruk, anak yang menderita penyakit kronis atau bila disertai komplikasi.

DIABETES MELITUS



Diabetes mellituS,

DM (bahasa Yunani: διαβαίνειν, diabaínein, tembus atau pancuran air) (bahasa Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupahiperglikemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sebagai akibat dari:

§ defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya.[2]

§ defisiensi transporter glukosa.

§ atau keduanya.

Klasifikasi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus berdasarkan perawatan dan simtoma:[2]

1. Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik. Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini.

2. Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai dengan sindrom resistansi insulin

3. Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, GIGT dan gestational diabetes mellitus, GDM.
dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi:

4. Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.

5. Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormon dari luartubuh.

6. Not insulin requiring diabetes.
Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.

Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.

Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.

Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".

Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l).[rujukan?] Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic events".[rujukan?] Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi.[rujukan?] Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis.[rujukan?] Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan kesadaran.
Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen,[6] termasuk yang mengekspresikan disfungsisel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin[7] yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10[8] dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulin[9] serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati.[9] Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.[10]

Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi,[11] rasio RBP4 dan hormon resistin yang tinggi,[9] peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati,[9] penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati.[12]

NIDDM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia[13], lipodistrofi,[9] dan sindrom resistansi insulin.

Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah.[rujukan?] Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan.[rujukan?] Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentraldiketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines ( nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa.[rujukan?] Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis.[rujukan?] Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.[rujukan?]

Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan [[ antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g., sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g.,metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.

Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru ini diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitus tipe 2.[14] Seperti zat penghambatdipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi perkembangan sel tumor maupun kanker.[15][16]

Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah defisiensi metabolisme oksidatif di dalam mitokondria[17] pada otot lurik.[18][19] Sebaliknya, hormon tri-iodotironinamenginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan sintesis ATP sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada kompleks IV, menurunkan spesi oksigen reaktif, menurunkan stres oksidatif,[20] sedang hormon melatonin akan meningkatkan produksi ATP di dalam mitokondria serta meningkatkan aktivitas respiratory chain, terutama pada kompleks I, III dan IV.[21] Bersama dengan insulin, ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi oksidatif mitokondria di dalam otot lurik.[22] Di sisi lain, metalotionein yang menghambat aktivitas GSK-3beta akan mengurangi risiko defisiensi otot jantung pada penderita diabetes.[23][24][25]

Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti dengan pengurangan berat tubuh, setelah dilakukan bedah bypass usus. Hal ini diketahui sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum dapat menentukan apakah metoda ini dapat memberikan kesembuhan bagi NIDDM dengan perubahan homeostasis glukosa.[26]

Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan naringin, diketahui menyebabkan:[27]

§ peningkatan mRNA glukokinase,

§ peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan

§ peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom

§ peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin[28]

§ penurunan ekspresi GLUT2 pada hati

§ penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati

§ penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain dengan menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-KoA, kolesterol asiltransferase

§ penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina palmitoil, antara lain dengan mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan fosfatidat fosfohidrolase

§ meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju lintasan glukoneogenesis

sedang naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di dalam hati.

Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada buah jenis jeruk, sedang naringin banyak ditemukan pada buah jenis anggur.
Diabetes mellitus tipe 3

Diabetes mellitus gestasional (bahasa Inggris: gestational diabetes, insulin-resistant type 1 diabetes, double diabetes, type 2 diabetes which has progressed to require injected insulin, latent autoimmune diabetes of adults, type 1.5" diabetes, type 3 diabetes, LADA) atau diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan keterlibataninterleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan patogenesisnya.[29] GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.[rujukan?]

Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan. GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa kehamilan.

Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh bayi meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin janin dapat menghambat produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan. Hyperbilirubinemia dapat terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada kasus yang parah, kematian sebelum kelahiran dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai akibat dari perfusi plasenta yang buruk karena kerusakan vaskular. Induksi kehamilan dapat diindikasikan dengan menurunnya fungsi plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan resiko luka yang berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.

Patofisiologi

Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal, seperti hormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan yang sedang laik daun saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus sering disebut terkait oleh akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.

Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia, yang berdampak pada penyakit kardiovaskular dan berakibat kematian.[30]

GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan menstimulasi glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam lemak. Sebaliknya, insulin-like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan kepekaan terhadap insulin, terutama pada otot lurik. Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio IGF-I tidak dapat menurunkan resistansi insulin, oleh karena berlebihnya GH.

Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian banyak orang, tetapi karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini akan memicu komplikasi padatoleransi glukosa.

Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang menjadi penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada hiperglisemia dan turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi glukoneogenesis dan glikogenolisis. Saat bersinergis dengan kofaktor hipertensi, hiperkoagulasi, dapat meningkatkan risiko kardiovaskular.

Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid berupa tri-iodotironina dengan hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa.

Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang disebabkan oleh hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas, feokromositoma,glukagonoma dan somatostatinoma.

Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1. Sinergi hormon berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-α, dijumpai membawa sinyal apoptosis bagi sel beta, baik in vitro maupun in vivo.[31] Apoptosis sel beta juga terjadi akibat mekanisme Fas-FasL,[32][33] dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain hiperaktivitas sel T CD8- dan CD4-.[33]
Komplikasi

Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
Ketoasidosis diabetikum

Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan sering kencing, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius. Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering kencing dan haus. Jarang terjadi ketoasidosis.[rujukan?] Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.[rujukan?]
Simtoma klinis

Simtoma hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:

§ poliuria - sering buang air kecil

§ polidipsia - selalu merasa haus

§ polifagia - selalu merasa lapar

§ penurunan berat badan, seringkali hanya pada diabetes mellitus tipe 1

dan setelah jangka panjang tanpa perawatan memadai, dapat memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:

§ gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,

§ gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal

§ gangguan kardiovaskular, disertai lesi membran basalis yang dapat diketahui dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron,[34]

§ gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot ulcer, amputasi, charcot joint dan disfungsi seksual,

dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria dan hiperosmolar non-ketotik yang dapat berakibat pada stupor dan koma.

§ rentan terhadap infeksi.

Kata diabetes mellitus itu sendiri mengacu pada simtoma yang disebut glikosuria, atau kencing manis, yang terjadi jika penderita tidak segera mendapatkan perawatan.

[sunting]Penanganan

Pasien yang cukup terkendali dengan pengaturan makan saja tidak mengalami kesulitan kalau berpuasa. Pasien yang cukup terkendali dengan obat dosis tunggal juga tidak mengalami kesulitan untuk berpuasa. Obat diberikan pada saat berbuka puasa. Untuk yang terkendali dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dosis tinggi, obat diberikan dengan dosis sebelum berbuka lebih besar daripada dosis sahur. Untuk yang memakai insulin, dipakai insulin jangka menengah yang diberikan saat berbuka saja. Sedangkan pasien yang harus menggunakan insulin (DMTI) dosis ganda, dianjurkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.[34